“Jika seseorang meninggal dunia maka
terputusnya segala amalannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, serta anak shalih yang mendoakannya” H.R Muslim
Kepedulian pada anak adalah sebuah kewajiban yang diamanahkan
pada kita dan pasangan hidup kita. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan bertanggungjawab
atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka hadist tersebut berlaku pula bagi
orang tua, karena setiap orang tua
akan bertanggung jawab atas anak mereka, sebab
anak merupakan amanah.
Telah berlalu ribuan tahun sejak nabi Ibrahim ‘alaihissalam
yang berharap akan hadirnya seorang putra, namun baru tiba kala
usianya telah senja. Dalam keadaan dan harapan yang kian
melemah, Allah Ta’ala mengabarkan akan hadirnya dua anak yang kelak akan meneruskan da’wah dan seruan ‘laailaha illallah’.
Meski usianya telah senja namun Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam tetap
mampu mendidik keduanya hingga sukses dan menjadi Nabi yang agung, merekalah Ismail dan Ishaq ‘alaihimassalam.
Kita faham bahwa setiap orang tua memiliki tanggung jawab atas
pendidikan buah hatinya, namun prakteknya jauh panggang daripada api. Terbukti dengan banyaknya ‘bang
Toyib’ zaman sekarang, yaitu mereka yang pergi sangat pagi dan pulang larut
malam, sangat sibuk dalam urusan pekerjaan sehingga melalaikan aspek pendidikan pada anak mereka. Banyak para orang tua yang
mengesampingkan pendidikan anak, seolah pendidikan hanya terbatas pada ‘sekolah’
padahal lebih daripada itu, pendidikan meliputi segala aspek dalam kehidupan
yang mampu dijadikan sarana mendidik, maka pergaulan antar teman sebaya maupun
dengan orang tuanya sangat mempengaruhi pendidikan yang kelak akan menjadi
karakter mereka. Dan inilah yang kebanyakan tidak diperhatikan oleh para orang
tua, yaitu pengawasan terhadap lingkungan pergaulan anak, baik lingkungan rumah
maupun sekolah. Karena disadari ataupun tidak, seseorang adalah produk dari lingkungannya.
Allah Ta’ala memberikan tanggung jawab pada setiap orang tua atas pendidikan anak-anaknya. Karena
anaknya, bisa jadi seorang ayah menjatuhkan
dirinya sendiri ke dalam
neraka, akibat dari pendidikannya yang salah, sehingga menghasilkan anak yang
durhaka pada Allah, contoh
sederhana: anak yang meninggalkan
sholat. Dan karena anaknya pula,
bisa jadi seorang ayah terbebas dan terselamatkan dari siksa Allah atau lebih jauh lagi bisa mengangkat derajatnya di surga kelak.
Anak dapat meningkatkan derajat orang tuanya di akhirat
kelak, bahkan dimuliakan karena
anaknya. Diantaranya, seorang anak yang ahli qur’an, kelak kedua orang
tuanya akan diberikan mahkota dari mutiara yang berharga dengannya. Tentu tidak
mudah bagi orang tua dalam mendidik
anak sebaik-baiknya, namun
tidak ada usaha yang Allah Ta’ala sia-siakan di akhirat kelak.
Allah Ta’ala
berfirman mengenai betapa bahagia seseorang bila anak cucunya
berhasil ia didik dengan benar:
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,
dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS Ath-Thur: 21). Tersebutkan dengan senada sebanyak 2 kali dalam
Qur’an.
Maksudnya, seorang ayah yang berderajatkan tinggi di
surga ‘Adn, kelak akan dapat menaikkan derajat
anak-anaknya agar mereka hidup bahagia bersama keturunan mereka. Tentu setiap
dari kita berkeinginan dan bercita-cita agar bisa masuk surga bersama dengan keturunan kita dan menikmati kebahagiaan surga selama-lamanya.
Ada beberapa tipe anak
berdasarkan amalnya yang disebutkan
dalam Qur’an, yaitu: ziinah (perhiasan), fitnah (cobaan), aduww
(musuh), dan qurrota a’yun (penyedap pandangan).
a. Anak sebagai perhiasan
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. (Al-Kahfi: 46)
Maksudnya
adalah seorang anak yang membanggakan orang tuanya di kehidupan
dunia, namun tanpa disertai
amalan yang menjadi penolong orang tuanya di akhirat. Maka, anak model ini hanya menyenangkan orang tuanya di
dunia saja, adapun di akhirat tidak mendapat manfaat darinya. Pendidikan
yang utama adalah yang
berorientasikan akhirat, serta
tanpa melupakan dunia. Sebagai
contoh, membuat anak sadar bahwa Allah senantiasa mengawasinya. Tatkala si anak memahaminya, dia akan
beramal saleh dan menjauhi maksiat setiap waktu.
b. Anak sebagai fitnah
(kata fitnah memiliki beberapa pengertian,
yang dimaksud fitnah disini adalah ujian) adalah ketika seorang ayah telah berusaha mendidik dan mentarbiyah anak-anak
nya dengan cara yang benar,
namun hasil tidak seperti usahanya. Sang anak tidak berperilaku atau berpegang
pada agama sesuai harapan ayahnya. Allah berfirman:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan...” (QS Al-Anfal: 28)
Maka yang perlu
difahami adalah tidaklah Allah menyia-nyiakan usaha yang telah hamba-Nya
lakukan, balasan dari-Nya akan tetap sebagaimana yang hamba usahakan.
“..dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (QS Al-Anfal: 28)
c. Anak sebagai musuh.
Lebih
jauh dari sekedar fitnah, seorang anak dapat menjadi musuh bagi orang tuanya, selain
dikarenakan anaknya tidak sesuai dengan harapan sang ayah, anak tersebut bahkan
berlawanan dan memusuhi ayahnya sendiri. Sebagaimana Kan’an anak Nabi Nuh alaihissalam,
ia tidak beriman pada da’wah ayahnya sendiri bahkan memusuhinya, hingga Allah ta’ala
menenggelamkan ia beserta kaumnya yang membangkang. Allah berfirman:
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara
isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At-Taghabun: 14).
d. Anak sebagai qurrota a’yun
(penyejuk pandangan)
Allah Ta’ala mengajarkan sebuah doa did dalam al Qur’an yang harusnya senantiasa dipanjatkan
setiap mukmin,
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqon:
74). Qurrota A’yun lebih jauh dari sekedar perhiasan dunia,
anak dan keturunan semodel ini selain membanggakan orang tuanya didunia, mereka
juga membanggakan diakhirat, bahkan sangat beruntung orang tua yang memiliki
keturunan semodel ini karena bisa jadi ia menyelamatkan orang tuanya dari siksa
api neraka.
Dengan berbagai macam pilihan, semua tergantung pada pribadi masing-masing anak dan tentunya didahului oleh pendidikan dari sang ayah. Karena
seorang anak pada awalnya berada dalam lingkungan yang dipilihkan oleh orang
tuanya. Bisa jadi setelah orang tua berusaha semaksimal mungkin namun anaknya
menyelisihinya, maka lepaslah tanggung jawab orang tua.
Dalam usahanya
beramal yang terbaik, tentunya seorang mukmin harus
mengambil pelajaran dari al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam. Salah satunya
ialah nasihat Luqman al-Hakim pada anaknya. Pelajaran dari wasiat beliau adalah
bahwa inti dari pendidikan adalah meninggalkan syirik, baik
berupa syirik niat, syirik perkataan, maupun syirik perbuatan.
Sebagaimana
sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa anak adalah aset yang lebih berharga dari milyaran
bahkan trilyunan simpanan manusia didunia, karena dengan anak yang sholeh para
orang tua akan mendapat kemuliaan di dunia maupun di akhirat.
“Jika seseorang
meninggal dunia maka terputusnya segala amalannya kecuali tiga perkara;
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak shalih yang mendoakannya” H.R Muslim
Semoga usaha sesuai dengan harapan kita, dan menjadikan anak-anak kita
peningkat derajat dalam surga dengan kesalihannya. Allah Maha Menolong, Maha
Mengerti, dan Maha Mampu.
(Ibnu Salim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar